Kamis, 19 Desember 2013
Kemiskinan Dan Kesenjangan Sosial Di Indonesia Pra Dan Pasca Runtuhnya Orde Baru
A. Latar Belakang Masalah
Semenjak gejolak dan kerusuhan sosial merebak di
berbagai daerah, kesenjangan sosial banyak dibicarakan. Beberapa pakar dan
pengamat masalah sosial menduga bahwa kerusuhan sosial berkaitan dengan
kesenjangan sosial. Ada yang sependapat dengan dugaan itu, tetapi ada yang
belum yakin bahwa penyebab kerusuhan sosial adalah kesenjangan sosial. Tidak
seperti kesenjangan ekonomi, kesenjangan sosial cukup sulit diukur secara
kuantitatif. Jadi, sulit menunjukkan bukti-bukti secara akurat. Namun, tidaklah
berarti kesenjangan sosial dapat begitu saja diabaikan dan dianggap tidak eksis
dalam perjalanan pembangunan selama ini. Di bagian ini dicoba menunjukkan
realitas dan proses merebaknya gejala kesenjangan sosial.
Untuk mempermudah pembahasan, kesenjangan sosial
diartikan sebagai kesenjangan (ketimpangan) atau ketidaksamaan akses untuk
mendapatkan atau memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Sumber daya bisa
berupa kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, peluang
berusaha dan kerja, dapat berupa kebutuhan sekunder, seperti sarana
pengembangan usaha, sarana perjuangan hak azasi, sarana saluran politik, pemenuhan
pengembangan karir, dan lain-lain.
Kesenjangan sosial dapat disebabkan oleh adanya
faktor-faktor penghambat sehingga mencegah dan menghalangi seseorang untuk
memanfaatkan akses atau kesempatan-kesempatan yang tersedia. Secara teoritis
sekurang kurangnya ada dua faktor yang dapat menghambat. Pertama, faktor-faktor
yang berasal dari dalam diri seseorang (faktor internal). Rendahnya kualitas
sumberdaya manusia karena tingkat pendidikan (keterampilan) atau kesehatan
rendah atau ada hambatan budaya (budaya kemiskinan). Kesenjangan sosial dapat
muncul sebagai akibat dari nilai-nilai kebudayaan yang dianut oleh sekelompok
orang itu sendiri. Akibatnya, nilai-nilai luas, seperti apatis, cenderung
menyerah pada nasib, tidak mempunyai daya juang, dan tidak mempunyai orientasi
kehidupan masa depan. Dalam penjelasan Lewis (1969), kesenjangan sosial tipe
ini muncul karena masyarakat itu terkungkung dalam kebudayaan kemiskinan.
Kedua, faktor-faktor yang berasal dari luar
kemampuan seseorang. Hal ini dapat terjadi karena birokrasi atau ada
peraturan-peraturan resmi (kebijakan), sehingga dapat membatasi atau
memperkecil akses seseorang untuk memanfaatkan kesempatan dan peluang yang
tersedia. Dengan kata lain, kesenjangan sosial bukan terjadi karena seseorang
malas bekerja atau tidak mempunyai kemampuan sebagai akibat keterbatasan atau
rendahnya kualitas sumberdaya manusia, tetapi karena ada hambatan-hambatan atau
tekanan-tekanan struktural. Kesenjangan sosial ini merupakan salah satu
penyebab munculnya kemiskinan structural. Alfian, Melly G. Tan dan Selo
Sumarjan (1980:5) mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan kemiskinan struktural
adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur
sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan
yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural meliputi kekurangan
fasilitas pemukiman, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikatif, kekurangan
fasilitas untuk mengembangkan usaha dan mendapatkan peluang kerja dan kekurangan
perlindungan hukum.
Faktor mana yang paling dominan menyebabkan
kesenjangan sosial. Kendati faktor internal dan kebudayaan (kebudayaan
kemiskinan) mempunyai andil sebagai penyebab kesenjangan sosial, tetapi tidak
sepenuhnya menentukan. Penjelasan itu setidaknya mengandung dua kelemahan.
Pertama, sangat normatif dan mengundang kecurigaan dan prasangka buruk pada
orang miskin serta mengesampingkan norma-norma yang ada (Baker, 1980:6). Kedua,
penjelasan itu cenderung membesar-besarkan kemapanan kemiskinan. Bukti-bukti
empiris menunjukkan bahwa kaum miskin senantiasa bekerja keras, mempunyai
aspirasi tentang kehidupan yang baik dan mempunyai motivasi untuk memperbaiki
kehidupan mereka. Mereka mampu menciptakan pemenuhan tutuntan kehidupan mereka
(periksa misalnya kajian Bromley dan Chris Gerry, 1979; Papanek dan
Kuncoroyakti, 1986; dan Pernia, 1994). Setiap saat orang miskin berusaha
memperbaiki kehidupan dengan cara bersalin dan satu usaha ke usaha lain dan
tidak mengenal putus asa (Sethuraman, 1981; Steele, 1985).
Jika demikian halnya, maka ihwal kesenjangan
sosial tidak semata-mata karena faktor internal dan kebudayaan, tetapi lebih
disebabkan oleh adanya hambatan structural yang membatasi serta tidak
memberikan peluang untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang tersedia.
Breman (1985:166) menggambarkan bahwa bagi yang miskin “jalan ke atas sering
kali dirintangi”, sedangkan: “jalan menuju ke bawah terlalu mudah dilalui”.
Dengan kata lain, gejala kesenjangan sosial dan kemampuan kemiskinan lebih
disebabkan adanya himpitan structural. Perlu dipertanyakan mengapa masyarakat
dan kaum miskin pasrah dengan keadaan itu? Ketidakberdayaan (politik) dan
kemiskinan kronis menyebabkan mereka mudah ditaklukkan dan dituntun untuk
mengikuti kepentingan dan kemauan elit penguasa dan pengusaha. Apalagi tatanan
politik dan ekonomi dikuasai oleh elit penguasa dan pengusaha.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka
permasalahan yang muncul adalah antara lain sebagai berikut :
“Apakah kebijakan pembangunan telah menciptakan
kemiskinan dan kesenjangan social di Indonesia pra dan pasca runtuhnya Orde
Baru“
C. Masalah Pembangunan: Kemiskinan Dan
Kesenjangan
1. Kemiskinan
a. Pandangan tentang kemiskinan
Pebedaan pandangan dari setiap ahli tentang
kemiskinan merupakan hal yang wajar. Hal ini karena data, dan metode penelitian
yang berbeda , tetapi justru terletak pada latar belakang idiologisnya. Menurut
Weber (Swasono , 1987), ideology bukan saja menentukan macam masalah yang
dianggap penting, tetapi juga mempengaruhi cara mendefenisikan masalah sosial
ekonomis, dan bagaimana masalah sosial ekonomi itu diatasi. Kemiskinan
disepakati sebagai masalah yang bersifat sosial ekonomi, tetapi penyebab dan
cara mengatasinya terkait dengan ideologi yang melandasinya. Untuk memahami
ideologi tersebut ada tiga pandangan pemikiran yaitu konservatisme,
liberalisme, dan radikalisme (Swasono, 1987). Penganut masing-masing pandangan
memiliki cara pandang yang berbeda dalam menjelaskan kemiskinan. Kaum
konservatif memandang kemiskinan bermula dari karakteristik khas orang miskin
itu sendiri. Orang menjadi miskin karena tidak mau bekerja keras , boros, tidak
mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa wiraswasta, fatalis, dan tidak ada
hasrat untuk berpartisipasi.
Menurut Oscar Lewis (1983), orang-orang miskin
adalah kelompok yang mempunyai budaya kemiskinan sendiri yang mencakup
karakteristik psikologis sosial, dan ekonomi. Kaum liberal memandang bahwa
manusia sebagai makhluk yang baik tetapi sangat dipengaruhi oleh lingkungan.
Budaya kemiskinan hanyalah semacam realistic and situational adaptation pada
linkungan yang penuh diskriminasi dan peluang yang sempit. Kaum radikal
mengabaikan budaya kemiskinan, mereka menekankan peranan struktur ekonomi,
politik dan sosial, dan memandang bahwa manusia adalah makhluk yang kooperatif,
produktif dan kreatif.
Philips dan Legates (1981) mengemukakan empat
pandangan tentang kemiskinan, yaitu pertama, kemiskinan dilihat
sebagai akibat dari kegagalan personal dan sikap tertentu khususnya ciri-ciri
sosial psikologis individu dari si miskin yang cendrung menghambat untuk
melakukan perbaikan nasibnya. Akibatnya, si miskin tidak melakukan rencana ke
depan, menabung dan mengejar tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Kedua,
kemiskinan dipandang sebagai akibat dari sub budaya tertentu yang diturunkan
dari generasi ke generasi. Kaum miskin adalah kelompok masyarakat yang memiliki
subkultur tertentu yang berbeda dari golongan yang tidak miskin, seperti
memiliki sikap fatalis, tidak mampu melakukan pengendalian diri, berorientasi
pada masa sekarang, tidak mampu menunda kenikmatan atau melakukan rencana bagi
masa mendatang, kurang memiliki kesadaran kelas, atau gagal dalam melihat
faktor-faktor ekonomi seperti kesempatan yang dapat mengubah nasibnya. Ketiga,
kemiskinan dipandang sebagai akibat kurangnya kesempatan, kaum miskin selalu
kekurangan dalam bidang keterampilan dan pendidikan untuk memperoleh pekerjaan
dalam masyarakat. Keempat, bahwa kemiskinan merupakan suatu
ciri struktural dari kapitalisme, bahwa dalam masyarakat kapitalis segelintir
orang menjadi miskin karena yang lain menjadi kaya. Jika dikaitkan dengan
pandangan konservatisme, liberalisme dan radikalisme, maka poin pertama dan
kedua tersebut mencerminkan pandangan konservatif, yang cendrung mempersalahkan
kemiskinan bersumber dari dalam diri si miskin itu sendiri. Ketiga lebih
mencerminkan aliran liberalisme, yang cendrung menyalahkan ketidakmapuan
struktur kelembagaan yang ada. Keempat dipengaruhi oleh pandangan radikalis
yang mempersalahkan hakekat atau prilaku negara kapitalis.
Masing-masing pandangan tersebut bukan hanya
berbeda dalam konsep kemiskinan saja, tetapi juga dalam implikasi kebijakan
untuk menanggulanginya. Keban (1994) menjelaskan bahwa pandangan konservatif
cendrung melihat bahwa program-program pemerintah yang dirancang untuk mengubah
sikap mental si miskin merupakan usaha yang sia-sia karena akan memancing
manipulasi kenaikan jumlah kaum miskin yang ingin menikmati program pelayanan
pemerintah. Pemerintah juga dilihat sebagai pihak yang justru merangsang
timbulnya kemiskinan. Aliran liberal yang melihat si miskin sebagai pihak yang
mengalami kekurangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, pelatihan,
pekerjaan dan perumahan yang layak, cendrung merasa optimis tentang kaum miskin
dan menganggap mereka sebagai sumber daya yang dapat berkembang seperti halnya
orang-orang kaya. Bantuan program pemerintah dipandang sangat bermanfaat dan
perlu direalisasikan. Pandangan radikal memandang bahwa kemiskinan disebabkan
struktur kelembagaan seperti ekonomi dan politiknya, maka kebijakan yang dapat
ditempuh adalah dengan melakukan perubahan kelembagaan ekonomi dan politik
secara radikal.
Menurut Flanagan (1994), ada dua pandangan yang
berbeda tentang kemiskinan, yaitu culturalist dan structuralist. Kulturalis
cendrung menyalahkan kaum miskin, meskipun kesempatan ada mereka gagal
memanfaatkannya, karena terjebak dalam budaya kemiskinan. Strukturalis
beranggapan bahwa sumber kemiskinan tidak terdapat pada diri orang miskin,
tetapi adalah sebagai akibat dari perubahan priodik dalam bidang sosial dan
ekonomi seperti kehilangan pekerjaan, rendahnya tingkat upah, diskriminasi dan
sebagainya. Implikasi dari dua pandangan ini juga berbeda, terhadap konsep
kulturalis perlu dilakukan perubahan aspek kultural misalnya pengubahan
kebiasaan hidup. Hal ini akan sulit dan memakan waktu lama, dan biaya yang
tidak sedikit. Terhadap konsep kulturalis perlu dilakukan pengubahan struktur
kelembagaan seperti kelembagaan ekonomi, sosial dan kelembagaan lain yang
terkait.
2. Pengertian Kemiskinan
Memahamai substansi kemiskinan merupakan langkah
penting bagi perencana program dalam mengatasi kemiskinan. Menurut Sutrisno
(1993), ada dua sudut pandang dalam memahami substansi kemiskinan di Indonesia.
Pertama adalah kelompok pakar dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
mengikuti pikiran kelompok agrarian populism, bahwa kemiskinan itu
hakekatnya, adalah masalah campur tangan yang terlalu luas dari negara dalam
kehidupan masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat pedesaan. Dalam
pandangan ini, orang miskin mampu membangun diri mereka sendiri apabila
pemerintah memberi kebebasan bagi kelompok itu untuk mengatur diri mereka
sendiri. Kedua, kelompok para pejabat, yang melihat inti dari masalah
kemiskinan sebagai masalah budaya. Orang menjadi miskin karena tidak memiliki
etos kerja yang tinggi, tidak meiliki jiwa wiraswasta, dan pendidikannya
rendah. Disamping itu, kemiskinan juga terkait dengan kualitas sumberdaya
manusia. Berbagai sudut pandang tentang kemiskinan di Indonesia dalam memahami
kemiskinan pada dasarnya merupakan upaya orang luar untuk memahami tentang
kemiskinan. Hingga saat ini belum ada yang mengkaji masalah kemiskinan dari
sudut pandang kelompok miskin itu sendiri.
Kajian Chambers (1983) lebih melihat masalah
kemiskinan dari dimensi si miskin itu sendiri dengan deprivation trap, tetapi
Chambers sendiri belum menjelaskan tentang alasan terjadinya deprivation
trap itu. Dalam tulisan ini dicoba menggabungkan dua sudut pandang dari
luar kelompok miskin, dengan mengembangkan lima unsur keterjebakan yang
dikemukakan oleh Chambers (1983), yaitu : (1) kemiskinan itu sendiri, (2)
kelemahan fisik, (3) Keterasingan, (4) Kerentanan, dan (5) Ketidak berdayaan.
Pengertian kemiskinan disampaikan oleh beberapa
ahli atau lembaga, diantaranya adalah BAPPENAS (1993) mendefisnisikan
keimiskinan sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena kehendak
oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan
kekuatan yang ada padanya. Levitan (1980) mengemukakan kemiskinan adalah
kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai
suatu standar hidup yang layak. Faturchman dan Marcelinus Molo (1994)
mendefenisikan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dan atau rumah tangga
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Menurut Ellis (1994) kemiskinan merupakan
gejala multidimensional yang dapat ditelaah dari dimensi ekonomi, sosial
politik. Menurut Suparlan (1993) kemiskinan didefinisikan sebagai suatu standar
tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada
sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Reitsma dan Kleinpenning (1994)
mendefisnisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi
kebutuhannya, baik yang bersifat material maupun non material. Friedman (1979)
mengemukakan kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk memformulasikan
basis kekuasaan sosial, yang meliptui : asset (tanah, perumahan, peralatan,
kesehatan), sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai), organisiasi
sosial politik yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan bersama,
jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang atau jasa, pengetahuan dan
keterampilan yang memadai, dan informasi yang berguna. Dengan beberapa
pengertian tersebut dapat diambil satu poengertian bahwa kemiskinan adalah
suatu situasi baik yang merupakan proses maupun akibat dari adanya
ketidakmampuan individu berinteraksi dengan lingkungannya untuk kebutuhan
hidupnya.
3. Budaya Kemiskinan
Sumarjan (1993) mengemukakan bahwa budaya
kemiskinan adalah tata hidup yang mengandung sistem kaidah serta sistem nilai
yang menganggap bahwa taraf hidup miskin disandang suatu masyarakat pada suatu
waktu adalah wajar dan tidak perlu diusahakan perbaikannya. Kemiskinan yang
diderita oleh masyarakat dianggap sudah menjadi nasib dan tidak mungkin
dirubah, karena itu manusia dan masyarakat harus menyesuaikan diri pada
kemiskinan itu, agar tidak merasa keresahan jiwa dan frustrasi secara
berkepanjangan. Dalam rangka budaya miskin ini, manusia dan masyarakat menyerah
kepada nasib dan bersikap tidak perlu, dan bahkan juga tidak mampu menggunakan
sumber daya lingkungan untuk mengubah nasib.
Menurut Oscar Lewis (1983), budaya kemiskinan
merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian, dan sekaligus juga merupakan reaksi
kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang
berstrata kelas, sangat individualist dan berciri kapitalisme. Budaya tersebut
mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa putus asa dan tanpa harapan, yang
merupakan perwujudan dan kesadaran akan mustahilnya mencapai akses, dan lebih
merupakan usaha menikmati masalah yang tak terpecahkan (tak tercukupi syarat,
tidak sanggupan). Budaya kemiskinan melampaui batas-batas perbedaan daerah,
perbedaan pedesaan-perkotaan, perbedaan bangsa dan negara, dan memperlihatkan
perasaan yang mencolok dalam struktur keluarga, hubungan-hubungan antar
pribadi, orientasi waktu, sistem-sistem nilai, dan pola-pola pembelanjaan.
Menurut Lewis (1983), budaya kemiskinan dapat
terwujud dalam berbagai konteks sejarah, namun lebih cendrung untuk tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat yang memiliki seperangkat kondisi: (1) Sistem
ekonomi uang, buruh upahan dan sistem produksi untuk keuntungan, (2) tetap
tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tak
terampil; (3) rendahnya upah buruh; (4) tidak berhasilnya golongan
berpenghasilan rendah meningkatkan organisiasi sosial, ekonomi dan politiknya
secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah; (5) sistem keluarga bilateral
lebih menonjol daripada sistem unilateral; dan (6) kuatnya seperangkat
nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan
dan adanya kemungkinan mobilitas vertical, dan sikap hemat, serta adanya
anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidak sanggupan pribadi
atau memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya.
Budaya kemiskinan bukanlah hanya merupakan
adaptasi terhadap seperangkat syarat-syarat obyektif dari masyarakat yang lebih
luas, sekali budaya tersebut sudah tumbuh, ia cendrung melanggengkan dirinya
dari generasi ke generasi melaui pengaruhnya terhadap anak-anak. Budaya
kemiskinan cendrung berkembang bila sistem-sistem ekonomi dan sosial yang
berlapis-lapis rusak atau berganti, seperti masa pergantian feodalis ke
kapitalis atau pada masa pesatnya perubahan teknologi. Budaya kemiskinan juga
merupakan akibat penjajahan yakni struktur ekonomi dan sosial pribumi diobrak,
sedangkan atatus golongan pribumi tetap dipertahankan rendah, juga dapat tumbuh
dalam proses penghapusan suku. Budaya kemiskinan cendrung dimiliki oleh
masyarakat strata sosial yang lebih rendah, masyarakat terasing, dan warga
urban yang berasal dari buruh tani yang tidak memiliki tanah.
Menurut Parker Seymour dan Robert J. Kleiner
(1983) formulasi kebudayaan kemiskinan mencakup pengertian bahwa semua orang
yang terlibat dalam situasi tersebut memiliki aspirasi-aspirasi yang rendah
sebagai salah satu bentuk adaptasi yang realistis. Beberapa ciri kebudyaan
kemiskinan adalah : (1) fatalisme, (2) rendahnya tingkat aspirasi, (3)
rendahnya kemauan mengejar sasaran, (4) kurang melihat kemajuan pribadi , (5)
perasaan ketidak berdayaan/ketidakmampuan, (6) Perasaan untuk selalu gagal, (7)
Perasaan menilai diri sendiri negatif, (8) Pilihan sebagai posisi pekerja
kasar, dan (9) Tingkat kompromis yang menyedihkan. Berkaitan dengan budaya
sebagai fungsi adaptasi, maka suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk mengubah
nilai-nilai yang tidak diinginkan ini menuju ke arah yang sesuai dengan
nilai-nilai golongan kelas menengah, dengan menggunakan metode-metodre
psikiatri kesejahteraan sosial-pendidikan tanpa lebih dahulu (ataupun secara
bersamaan) berusaha untuk secara berarti mengubah kenyataan kenyataan struktur
sosial (pendapatan, pekerjaan, perumahan, dan pola-pola kebudayaan membatasi
lingkup partisipasi sosial dan peyaluran kekuatan sosial) akan cendrung gagal.
Budaya kemiskinan bukannya berasal dari kebodohan, melainkan justru berfungsi bagi
penyesuaian diri.
Hal penting dalam membahas kemiskinan dan
kebudayaan adalah untuk mengetahui seberapa cepat orang-orang miskin akan
mengubah kelakuan mereka, jika mereka mendapat kesempatan-kesempatan baru; dan
macam hambatan atau halangan-halangan yang baik atau buruk yang akan timbul
dari reaksi tersebut terhadap situasi-situasi masa lampau. Untuk menentukan
macam kesempatan-kesempatan yang harus diciptaan untuk menghapus kemiskinan,
yaitu mendorong oang-orang msikin melakukan adapatasi terhadap kesempatan-kesempatan
yang bertentangan dengan pola-pola kebudayaan yang mereka pegang teguh dan cara
mereka dapat mempertahankan pola-pola kebudayaan yang mereka pegang teguh
tersebut agar tidak akan bertentangan dengan aspirasi-aspirasi lainnya. Hanya
orang-orang miskin yang tidak mampu menerima kesempatan-kesempatan karena
mereka tidak dapat membuang norma-norma kelakukan yang digolongkan sebagai
pendukung kebudayaan kelas bawah.
Akibat kemiskinan tersebut, sebahagian besar
penduduk Indonesia menghadapinya dengan nilai-nilai pasrah atau nrimo
(kemiskinan kebudayaan). Terbentuknya pola pikir dan prilaku pasrah itu dalam
jangka waktu yang lama akan berubah menjadi semacam “institusi permanen” yang
mengatur prilaku mereka dalam menyelesaikan problematika di dalam hidup mereka
atau krisis lingkungan mereka sendiri (Lewis, 1968 dalam Haba, 2001). Menurut
penganut paradigma kemiskinan kebudayaan ini, orang yang berada dalam kondisi
serupa tidak sanggup melihat peluang dan jalan keluar untuk memperbaiki
kehidupannya. Karakteristik kelompok ini terlihat dari pola substensi mereka
yang berorientasi dari tangan ke mulut (from hand to mouth) (Haba,
2001 ).
4. Kemiskinan Struktural
Kemiskinan struktural menurut Selo Sumarjan
(1980) adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena
struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber pendapatan
yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan strukturl adalah suasana
kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber
pada struktur sosial, dan oleh karena itu dapat dicari pada struktur sosial
yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Golongan kaum miskin ini terdiri
dari ; (1) Para petani yang tidak memiliki tanah sendiri, (2) Petani yang tanah
miliknya begitu kecil sehingga hasilnya tidak cukup untuk memberi makan kepada
dirinya sendiri dan keluargamnya, (3) Kaum buruh yang tidak terpelajar dan
tidak terlatih (unskilled labourerds), dan (4) Para pengusaha tanpa
modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah (golongan ekonomi lemah).
Kemiskinan struktural tidak sekedar terwujud
dengan kekurangan sandang dan pangan saja, kemiskinan juga meliputi kekurangan
fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi
dengan dunia sekitarnya, sosial yang mantap.
Beberapa ciri kemiskinan struktural, menurut
Alpian (1980) adalah (1) Tidak ada atau lambannya mobilitas sosial (yang miskin
akan tetap hidup dengan kemelaratanya dan yang kaya akan tetap menikmati
kemewahannya), (2) mereka terletak dalam kungkungan struktur sosial yang
menyebabkan mereka kekurangan hasrat untuk meningkatkan taraf hidupnya, dan (3)
Struktur sosial yang berlaku telah melahirkan berbagai corak rintangan yang
menghalangi mereka untuk maju. Pemecahan permasalahan kemiskinan akan bisa dilakukan
bilamana struktur sosial yang berlaku itu dirubah secara mendasar.
Soedjatmoko (1984) memberikan contoh kemiskinan
structural; (1) Pola stratifikasi (seperti dasar pemilikan dan penguasaan
tanah) di desa mengurangi atau merusak pola kerukukan dan ikatan timbal-balik
tradisional, (2) Struktur desa nelayan, yang sangat tergantung pada juragan di
desanya sebagai pemilik kapal, dan (3) Golongan pengrajin di kota kecil atau
pedesaan yang tergantung pada orang kota yang menguasai bahan dan pasarnya.
Hal-hal tersebut memiliki implikasi tentang kemiskinan structural : (1)
kebijakan ekonomi saja tidak mencukupi dalam usaha mengatasi
ketimpangan-ketimpangan struktural, dimensi struktural perlu dihadapi juga
terutama di pedesaan; dan (2) perlunya pola organisasi institusi masyarakat
pedesan yang disesuaikan dengan keperluannya, sebaga sarana untuk mengurangi
ketimpangan dan meningkatkan bargaining power, dan perlunya proses Sosial
learning yang spesifik dengan kondisi setempat.
Adam Malik (1980) mengemukakan bahwa untuk
mencari jalan agar struktur masyarakat Indonesia dapat diubah sedemikian rupa
sehingga tidak terdapat lagi di dalamnya kemelaratan structural. Bantuan
yang terpenting bagi golongan masyarakat yang menderita kemiskinan struktural
adalah bantuan agar mereka kemudian mampu membantu dirinya sendiri.
Bagaimanapun kegiatan pembangunan yang berorientasi pertumbuhan maupun
pemerataan tidak dapat mengihilangkan adanya kemiskinan struktural.
Pada hakekatnya perbedaan antara si kaya dengan
si miskin tetap akan ada, dalam sistem sosial ekonomi manapun. Yang lebih
diperlukan adalah bagaimana lebih memperkecil kesenjangan sehingga lebih
mendekati perasaan keadilan sosial. Sudjatmoko (1984) berpendapat bahwa,
pembangunan yang semata-mata mengutamakan pertumbuhan ekonomi akan
melanggengkan ketimpangan struktural. Pola netes ke bawah memungkinkan
berkembangnya perbedaan ekonomi, dan prilaku pola mencari nafkah dari pertanian
ke non pertanian, tetapi proses ini akan lamban dan harus diikuti dengan
pertumbuhan yang tinggi. Kemiskinan tidak dapat diatasi hanya dengan membantu
golongan miskin saja, tanpa menghadapi dimensi-dimensi struktural seperti
ketergntungan, dan eksploitasi. Permasalahannya adalah dimensi-dimensi
struktural manakah yang mempengarhui secara langsung terjadinya kemiskinan,
bagaimana ketepatan dimensi untuk kondisi sosial budaya setempat.
Sinaga dan White (1980) menunjukkan aspek-aspek
kelembagaan dan struktur agraris dalam kaitannya dengan distribusi pendapatan
kemiskinan: (1) penyebaranan teknologi, bahwa bukan teknologi itu sendiri,
tetapi struktur kelembagaan dalam masyarakat tenpat teknologi itu masuk yang
menentukan bahwa teknologi itu mempunyai dampak negatif atau positif terhadap
distribusi pendapatan (2) lembaga perkreditan pedesaan, perkereditan yang
menginginkan tercapainya pemerataan pendapatan, maka program perkreditan
tersebut justru harus diskriminatif, artinya subsidi justru harus diberikan
kepada petani kecil, bukan pemerataan berdasaran pemilikan atau penguasaan
lahannya; (3) kelembagaan yang mengatur distribusi penguasaan atas
faktor-faktor produksi di pedesaan turut menentukan tingkat pendapatan dari
berbagai golongan di masyarakat,karena tidak semata-mata ditentukan oleh
kekuatan faktor ekonomi (interaksi antara penawaran dan permintaan) saja: dan
(4) Struktur penguasaan atas sumber-sumber produksi bukan tenaga kerja
(terutama tanah dan modal) yang lebih merata dapat meningkatkan pendapatan
penduduk yang berada dibawahi garis kemiskinan.
D. Kebijakan Pembangunan dan Kesenjangan
Sosial
Semenjak Orde Baru berkuasa, ada beberapa
kebijakan yang diterapkan dalam bidang ekonomi. Salah satu kebijakan adalah
memacu pertumbuhan ekonomi dengan mengeluarkan undang-undang Penanaman Modal
Asing dengan memberikan persyaratan dan peraturan-peraturan yang lebih ringan
dan menarik kepada investor dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya. Kegiatan
industri meningkat tajam dan sangat pada GDP mengalami kenaikan dari sekitar 9
persen pada tahun 1970 menjadi sekitar 17 persen pada tahun 1992 (Booth dan
McCawley, 1986:82 dan Sjahrir 1993:16). Pertumbuhan ekonomi juga mengalami
kenaikan. Pendek kata, selama Orde Baru perekonomian mengalamii kemajuan pesat.
Namun, bersamaan dengan itu ketimpangan sosial atau sekelompok kecil
masyarakat, terutama mereka yang memiliki akses dengan penguasa politik dan
ekonomi, sedangkan sebagian besar yang kurang atau hanya memperoleh sedikit
manfaat. Bahkan, ada masyarakat merasa dirugikan dan tidak mendapat manfaat
sama sekali. Kesenjangan sosial semakin terasa mengkristal dengan munculnya
gejala monopoli. Monopoli dan oligopoly dan memperkecil akses usaha kecil untuk
menggambarkan usaha mereka. Menurut Revrisond Baswer (dikutip dalam Bernes
(1995:1) hampir seluruh cabang produksi dikuasai oleh perusahaan konglomerat.
Perusahaan-perusahaan besar konglomerat menguasai berbagai kegiatan produksi
murni dari produksi, eksploitasi hasil hutan, konstruksi, industri otomotif,
transpotasi, perhotelan, makanan, perbankan, jasa-jasa keuangan, dan media
komunikasi. Diperkirakan 200 konglomerat menguasai 58 persen PDB. Usaha-usaha
rakyat yang kebanyakan kecil dan tradisional hanya menguasai 8 persen.
Kesenjangan sosial ini tidak hanya mengganggu pertumbuhan ekonomi rakyat tetapi
menyebabkan ekonomi rakyat mengalami proses marjinalisasi.
Selain kebijakan ekonomi, kebijakan yang diduga
turut menstrimulir kesenjangan social adalah kebijakan penataan lahan (tata
ruang). Penerapan kebijakan penataan lahan selama ini belum dapat mendatangkan
manfaat bagi masyarakat. Berbagai kekuatan dan kepentingan telah mempengaruhi
dalam penerapan. Tarik menarik berbagai kekuatan dan kepentingan telah
menimbulkan konflik antara pengusaha besar dan masyarakat. Dalam konflik
acapkali kepentingan masyarakat (publik) diabaikan dan cenderung mengutamakan
kepentingan sekelompok orang (pengusaha). Penelitian Suhendar (1994)
menyimpulkan bahwa: ”Kooptasi tanah-tanah : terutama di pedesaan oleh kekuatan
besar ekonomi dan luar komunitas semakin menggejala. Pembangunan sektor
ekonomi, seperti pembangunan kawasan industri, pabrik-pabrik, sarana wisata
telah menyita banyak lahan penduduk. Demikian pula, instansi-instansi
pemerintah memerlukan tanah untuk pembangunan perkantoran, instruktural
ekonomi, fasilitas sosial, perumahan, dan lain-lain. Di perkotaan, pemilik
modal (konglomerat) bekerja sama dengan birokrasi membeli tanah-tanah penduduk
untuk kepentingan pembangunan perumahan mewah, pusat perbelanjaan dan lain-lain.
Begitu pula di pedesaan pemilik modal menggusur penduduk dan memanfaatkan Iahan
untuk kepentingan agroindustri, perumahan mewah, dan lapangan golf. Dalam
banyak kasus, banyak tanah negara yang selama ini dikuasai penduduk dengan
status tidak jelas di jadikan sasaran dan cara termudah untuk menggusur
penduduk”
Dampak dari penerapan kebijakan penatagunaan
lahan antara lain adalah terjadinya marjinalisasi dan pemiskinan masyarakat
desa yang tanahnya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan yang dalam banyak
hal belum dan kurang dapat memberikan keuntungan ekonomis bagi rakyat.
Diposting oleh ANTON YUGISWARA di 04.11 0 komentar
Langganan:
Postingan (Atom)